1.1
Pendekatan
PMRI
1.1.1
Pengertian
PMRI
Menurut Zulkardi & Putri (2010) PMRI
(Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) atau RME (Realistic Mathematics
Education) adalah teori pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang ‘real’ atau pernah dialami siswa, menekankan ketrampilan proses ‘doing mathematics’. Berdiskusi dan
berkolaborasi, beragumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat
menentukan sendiri(student inventing)
sebagai kebalikan dari (teacher telling)
dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan itu untuk
menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Dalam
RME, peran guru menurut
Marpaung dalam Rahmawati(2013: 230) peran guru tak
lebih dari seorang fasilator , moderator, atau evaluator sementara peran siswa
lebih banyak dan aktif untuk berfikir,
mengkomunikasikan argumentasinya, menjustifikasi jawaban mereka, serta melatih
nuansa demokrasi dengan menghargai strategi atau pendapat teman lain.
Menurut Ratu Ilma (2011:548), PMRI adalah salah satu pendekatan
pembelajaran yang menggiring siswa memahami konsep matematika
dengan mengkonstruksi sendiri melalui pengetahuan
sebelumnya yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-harinya dengan menemukan sendiri konsep
tersebut, maka diharapkan belajar siswa menjadi lebih bermakna
Menurut Ilma (2010); (Zulkardi, 2005) yang
menyatakan PMRI adalah suatu pendekatan yang diadaptasi dari RME banyak
ditentukan oleh pandangan Freudenthal tentang matematika. Dua pandangan penting
beliau adalah ‘mathematics must be connected to reality and mathematics as
human activity’.
1.1.2 Prinsip
PMRI
Prinsip
PMRI Menurut Freudental dalam Zulkardi (2005: 8-9) ada tiga prinsip
PMRI yang dapat dijadikan sebagai acuan oleh peneliti dan pendesainan perangkat
pembelajaran baik itu materi maupun produk pendidikan lainnya. Ketiga prinsip
tersebut dijelaskan seperti berikut :
1. Penemuan
terbimbing melalui matematisasi (Guided reinvention through Mathematization).
Karena
dalam PMRI, matematika adalah aktivitas manusia maka penemuan terbimbing
melalui matematisasi dapat diartikan bahwa siswa hendaknya dalam belajar
matematika harus diberikan kesempatan untuk mengalami sendiri proses yang sama
saat matematika ditemukan. Prinsip ini dapat diinspirasikan dengan menggunakan
prosedur secara informal ke tingkat belajar matematika secara formal.
2.
Fenomena mendidik (Didacitical Phenomenology).
Situasi
yang berisikan fenomena mendidik yang dijadikan bahan dan area aplikasi dalam
pengajaran matematika haruslah berangkat dari keadaan yang nyata terhadap siswa
sebelum mencapai tingkatan matematika secara formal. Upaya ini akan tercapai
jika pengajaran yang dilakukan menggunakan situasi yang berupa
fenomena-fenomena yang mengandung konsep matematika secara informal ke tingkat
belajar matematika secara formal.
3. Model-Model
Siswa sendiri (Self-develoved models).
Peran Self-develoved
models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi konkrit
atau informal matematika ke formal matematika. Artinya siswa membuat model
sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model suatu situasi yang
dekat dengan alam siswa. Dengan generalisasi model tersebut akan menjadi
berubah model-of masalah tersebut. Model-of akan bergeser menjadi
model-for masalah sejenis. Pada akhirnya akan menjadi model dalam formal
matematika.
2.2.3 Karakteristik Pembelajaran PMRI
Menurut
Jan de Lange (1987); Treffers (1991); dan Gravemeijer (1994) dalam Zulkardi (2005:9) PMRI mempunyai lima karakteristik yaitu sebagai berikut:
1. Menggunakan
masalah kontekstual (masalah kontekstual sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak dari
mana matematika yang diinginkan dapat muncul).
2. Menggunakan model yang
menekankan penyelesaian secara informal sebelum menggunakan cara formal atau
rumus.(Perhatian diarahkan pada pengembangan model, skema dan
simbolisasi daripada hanya mentransfer rumus atau matematika secara langsung).
3. Menghargai
ragam jawaban dan kontribusi siswa (Kontribusi yang besar pada
proses belajar mengajar diharapkan dari kontribusi siswa sendiri yang mengarahkan
mereka dari metode informal kearah yang lebih formal).
4. Interaktivitas
(negoisasi secara eksplisit, intervensi, kooperatif dan evaluasi
sesama siswa dan guru adalah faktor penting dalam proses belajar secara
konstruktif dimana strategi informal siswa digunakan sebagai jantung untuk
mencapai yang formal).
5. Terintegrasi
dengan topik pembelajaran lainnya (Pendekatan holistic,
menunjukan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah
tetapi keterkaitan dan keterintegrasian harus dieksploitasi dalam pemecahan masalah).